Menjemput hidayah atau menunggu hidayah?

Dulu ketika masih kuliah, sering terdengar bercandaan ketika diajak jumatan (shoalt jum’at), “engko sik, nunggu hidayah”. Kala itu mungkin belum terasa penting karena memang belum belajar, tapi sekarang itu bisa jadi persoalan. Ternyata hidayah itu bukan ditunggu tapi dijemput atau minimal direspon. Karena sebenarnya hampir setiap saat hidayah itu menyapa, tapi dianggap biasa karena diri penuh dosa. Seburuk-buruknya perilaku sebagai manusia, hati kecil sesungguhnya tetap ingin kebaikan, karena memang itu fitrah, terlebih bukan yang memang sengaja tapi karena terpaksa.

Contoh, mungkin lebih tepatnya kasus, dulu saya punya seorang kawan yang berkawan dengan sekelompok peminum. Hampir setiap hari kamarnya bau alcohol, dan saya sudah hafal kalau rombongan temannya mulai berdatangan. Sepanjang kami berinteraksi (mungkin 2 tahunan), menurut saya beliau orang baik, hanya salah pilih teman. Suatu hari, di kosan hanya tinggal berdua, yang lain ada yang pulang, ada yang nugas, sudah malam dan kelaparan. Beliau ini seperti biasa kamarnya selalu terbuka, music metal, dan duduk di depan pintu dengan tatapan orang bangun tidur. Kemudian sadar ada kawan, beliau mengajak saya cari angkiringan atau burjo (sekarang lebih terkenal dengan sebutan warmindo) di sekitar kampus. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga larut bahkan menjelang pagi, dan beliau sadar betul saya bukan kalong seperti beliau ini. Jadi ketika saya sudah mulai sering menguap (wajar, itu Tengah malam), beliau bilang “nek meh turu disek gapopo lo, lek aku kan kehidupan baru dimulai”. Saya menggunakan kata ganti beliau karena memang Angkatan sepuh (5 tahun diatas). Dalam obrolan itu, ada satu pernyataan menarik yang kurang lebih menjelaskan jika beliau ini ingin lepas dari orang-orang itu, ingin hidup normal seperti yang lain, bangun pagi, kuliah (meski kulahnya sore), punya teman – teman yang baik, ga mau mabuk lagi. Dan cerita yang sama saya dapatkan dari teman kos lain yang pernah ngobrol lama dengan beliau.

Alhamdulillah separah-parahnya kos kami, para membernya tetap sholat sebagaimana mestinya. Ketika datang waktu sholat, kami (minus beliau) pergi ke masjid, atau sholat berjamaah di kamar, kadang ada kawan yang ngaji selepas maghrib. Artinya hal itu menjadi semacam kebiasaan di kos yang parah itu. Suatu hari di luar dugaan, beliau ini ingin ikut sholat, dan pada beberapa kali kesempatan hari jumat, bahkan ikut sholat jumat. Mengapa diluar dugaan? Karena sebelumnya ketika diajak sholat, yang muncul adalah kalimat di awal tulisan ini. Meski tidak bertahan lama (karena kami sat per satu mulai pindah kos) dan kami tidak tahu lagi kabar beliau waktu itu,, tapi bagi saya jadi bukti bahwa hidayah itu memang dijemput, dan ketika sudah cukup kuat, Allah pasti memberikan jalan, bahkan bagi orang yang mungkin dipandang sebaliknya.

Lima tahun setelah kejadian itu (tahun kejadian 2007), ketika sudah merantau untuk bekerja, ternyata mengalami hal yang sama dalam konteks keinginan untuk memperbaiki diri, bukan perkara mabuk, karena alhamdulillah saya tidak pernah melakukannya. Tiga tahun bekerja, merantau, single, punya uang sisa yang lumayan untuk level orang baru mulai bekerja (meski masih berbeda jauh dibawah jika dibandingkan dengan yang lain). Bekerja di kota besar kedua di Pulau Jawa, bulanan lancar, nongkrong di coffeeshop jadi rutinitas, itu sudah lumayan, dan mulai terpapar kebiasaan-kebiasaan lingkungan kota, jalan-jalan malam, nongkrong dan sejenisnya, yang lebih ke buang-buang waktu. Itu berjalan cukup lama sampai suatu ketika entah darimana datangnya muncul perasaan aneh. Dikatakan aneh karena harusnya tidak demikian. Perasaan hampa dengen segala variannya, hampa dalam beribadah. Saya tetap sholat seperti biasa, tapi seolah hanya rutinitas, tanpa makna. Padahal seharusnya setiap sholat itu sarat makna. Tidak ada kenikmatan seperti yang seharusnya dirasakan ketika beribadah, dan lebih anehnya saya merasakan itu sebagai keanehan. Karena mungkin saja sebenarnya, ya sholat ya sholat saja.

Mulai saat itu muncul keinginan yang sangat kuat untuk berusaha menikmati sholat. Sesederhana itu, hanya ingin menikmati sholat. Setelahnya seolah diberikan jalan yang kalau dipikir-pikir, bisa gitu ya? Dimulai dengan tiba-tiba ingin silaturahmi ke kakak sepupu di kota sebelah, yang selama ini mungkin hanya bisa bertemu beberapa tahun sekali. Bahkan saat itu menjadi kunjungan pertama kali setelah setahun lebih saya pindah tugas ke Kota itu. Kakak sepupu ini sudah terkenal orangnya slengekan, terlebih jika bertemu bapak. Tapi saat itu saya pergi sendiri ke sana, kemudian kami ngobrol macam-macam, sampai mata saya tertuju ke lemari buku di ruang tamunya yang berisi ALQuran, Hadits Bukhari Muslim, dan buku - buku keislaman lainnya. Kemudian kami ngobrol lebih dalam lagi soal agama, sampai Dimana saya menyatakan ingin belajar sholat yang benar sesuai tuntunan Rasulullah tanpa terafiliasi dengan kelompok tertentu. Karena awam, saya bertanya hal-hal mendasar, seperti apakah beliau terafiliasi dengan kelompok tertentu? Dan dijawab, dengan pokoknya beliau ikut yang sesuai dengan Alquran dan sunnah dengan pemahaman para umat terdahulu. 

Dan beliau merekomendasikan untuk lebih dahulu belajar dari ensiklopedi Al-Wajiz sebagai pondasi. Pesan yang paling saya ingat adalah
1. “Kota suci Cuma 3: Mekkah, Madinah, dan Palestina. Khusus untuk ilmu-ilmu islam sumber utamanya ya di mekkah dan Madinah. Sumbernya ya, bukan ulamanya. Ulama bisa berasal dari mana saja, tapi sumber ilmu dan pemahaman yang benar ya dari Mekkah dan Madinah.”
2. Ikut kajian yang benar dan rutin. “Pokoke nek kowe teko neng kajian, kok mulai ngrasani liyane, mbuh ngrasani ustadz liyane, kelompok liyane, tinggalen ae. Golek kajian sing focus bahas ilmu, ora rasan – rasan.”

Setelah kunjungan itu, pelan – pelan mulai berubah, sholat jadi lebih serius, dan lebih serius lagi dalam belajar agama, untuk kemanfaatan jangka panjang, bahkan sangat panjang. Logika dasar yang selalu saya pegang,

“Kalau untuk urusan dunia yang sementara saja, kepengennya semua serba yang terbaik, bukankah seharusnya untuk urusan akhirat (agama) yang selamanya, justru harus berusaha lebih keras untuk dapat yang paling baik?”

Jadi, apakah saya dapat hidayah? Mungkin sebenarnya istilahnya sering diingatkan ,tapi tidak merespon sebagaimana mestinya, karena hati lemah oleh maksiat. Bisa jadi ini doa orangbtua saya yang dikabulkan Allah, tidak tahu pastinya. Yang pasti adalah saat rasa hampa itu menyapa, saya hanya ingin mengisinya dengan sesuatu yang benar, dan alhamdulillah niat ingin jadi orang yang lebih baik itu dikuatkan Allah dengan taufikNya. Pantas dalam ceramah-ceramah kata taufik dan hidayah itu selalu sepaket, karena hidayah adalah petunjuk kebaikan, dan taufik adalah dorongan di hati untuk merespon hidayah dan mewujudkannya menjadi kebaikan. Jadi, hidayah itu dijemput karena awalnya berasal dari dorongan hati, bukan ditunggu. Dan dorongan hati itu asalnya dari Allah, atas doa-doa kita, doa-doa orang tua kita, atau doa orang – orang baik yang mendoakan kita.

Comments

Popular Posts