Sudah menyiapkan Exit Strategy?
Exit strategy by Nick Youngson CC BY-SA 3.0 Pix4free |
Lama tidak mendengar komentar ini, “masih muda cari uang dulu yang banyak, kalau udah settle, baru jadi pengajar.”
Sore itu, dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja bertemu dengan seorang senior, beliau yang sudah makan asam garam (kurang lebih seperti itu istilahnya), kemudian memutuskan menjadi pengajar. Jarang sekali bertemu beliau, terakhir bertemu tahun lalu dalam sebuah diskusi. Sore itu selama 20 menit kami mengobrol soal profesi yang kabarnya akan semakin terkikis oleh kebijakan. Beliau bilang, “jadi pengajar karir itu berat, saya aja yang udah senior aja di awal -awal ga dapat jam ngajar, apalagi yang masih muda. Harusnya ke teknis dulu, cari duit dulu lah istilahnya. Tapi sekarang udah enak mulai dikasi, dulu jaman awal se-anda, saya ga dikasi jam ngajar”.
Hanya tersenyum, tidak mengiyakan tidak pula menolak. Dalam hati, saya sudah pernah disana meski sebentar, tahu apa konsekuensinya, makanya saya memilih jalan ini dengan segala konsekuensinya. Kalau saja saya punya ambisi, mungkin tidak akan memilih profesi ini, dan akan mengikuti jalur seperti yang lain. Kata orang-orang, profesi yang sekarang itu harusnya untuk yang sudah kenyang dengan dunia lapangan, dunia organisasi-organisasi terbesar dan prestisius. Tapi, jika suatu saat nanti ada kebijakan yang tidak berpihak pada profesi ini sehingga terjadi perubahan yang cukup ekstrim (seperti sebelumnya), maka harus menyiapkan diri.
Kadang bertanya, apa salahnya berkarir disini? Kalau memang berat, itu pasti, sehingga saya pun punya prinsip “berdasarkan persepsi umum, oke saya sudah menenggelamkan karir sendiri, jadi konsekuensinya harus berjuang, memulai dari nol, dengan segala rintangannya.” Kalau sudah seperti ini saja masih “dipermasalahkan”, atau “diutak-atik”, berarti harus bersikap untuk hidup saya”. Sikap ini mungkin ekstrim bagi sebagian orang, tapi terpaksa diambil daripada dipaksa pihak lain untuk menentukan jalan hidup. Catatan penting adalah halal, tidak melanggar aturan, dan keluarga tetap nomor 1. Kalau harus berpisah dari keluarga dan tidak bisa bertemu keluarga tiap hari gara-gara profesi, lebih baik alih profesi. Cukup ekstrim, namun bukan tidak mungkin jika memang terpaksa, banyak yang sudah melakukannya. Ternyata exit strategy tidak hanya berlaku di dunia bisnis, tapi di kehidupan pun butuh exit strategy.
Berikut pertanyaan yang sering disampaikan, dan ini pernah dialami bukan hanya saya, tapi istri pun pernah ditanya hal yang sama.
Kenapa kayak gitu? Yang lain bisa lo.
Jawab : Prinsip hidup masing-masing orang berbeda-beda. Orang lain bisa, bukan berarti saya bisa, begitu pula sebaliknya.
Tapi berati menolak tugas dong, melawan aturan dong, kan pengabdian
Jawab : Ya kalau mau dipersepsikan demikian silakan. Apakah bisa melawan kuasa? Kan cenderung kalah, resign pun tetap ikut prosedur. Kurang mengabdi apa, niat mengabdi di kantor yang sekarang ini all out sampai pensiun.
Emang mau kerja apa kalau resign, umur segitu emang ada yang nerima?
Jawab : Apa saja yang penting halal, tidak melanggar aturan agama, jalan rezeki pasti ada selama mau ikhtiar.
Kamu ga kasihan sama keluargamu?
Jawab : lebih kasihan kalau mereka tidak mendapatkan hak mereka sebagai keluarga. Sekali lagi, cara pandang berbeda tiap orang.
Nanti keluargamu makan apa kalau ternyata kamu gagal?
Jawab : Gagal dalam pandangan orang mungkin iya, tapi insyaallah ada, Allah yang kasih. Justru ini pengingat kalau selama ini salah karena bergantung sama makhluk.
Emang kamu punya apa, kok berani ambil keputusan kaya gitu? Udah punya sambilan? Atau tabungan? Ga nunggu dulu punya tabungan, trus baru resign?
Jawab : Belum punya apa-apa, kalau gara-gara tabungan, artinya bergantung sama tabungan, bukan sama Allah.
Ah kamu ga tangguh, ga struggle, harusnya bisa beradaptasi
Jawab : kurang struggle dan kurang adaptif apa orang yang sudah niat mengabdi dengan yang ada tapi memilih keluar dan memulai dari nol. Betul tidak struggle sebagai pegawai, tapi struggle sebagai manusia. Sama-sama bersikap, tapi beda sudut pandang, dan tidak ada yang benar atau salah.
Enak banget, nyari nyaman ya, masih muda kok nyari nyaman.
Jawab : Salahnya dimana kalau mencari nyaman, karena dengan nyaman bisa bekerja maksimal, bukan bekerja dibawah kekhawatiran. Masalah masih muda, kembali lagi, salahnya dimana?
Comments
Post a Comment