Menjemput hidayah atau menunggu hidayah?
Dulu ketika masih kuliah, sering terdengar bercandaan ketika diajak jumatan (shoalt jum’at), “engko sik, nunggu hidayah”. Kala itu mungkin belum terasa penting karena memang belum belajar, tapi sekarang itu bisa jadi persoalan. Ternyata hidayah itu bukan ditunggu tapi dijemput atau minimal direspon. Karena sebenarnya hampir setiap saat hidayah itu menyapa, tapi dianggap biasa karena diri penuh dosa. Seburuk-buruknya perilaku sebagai manusia, hati kecil sesungguhnya tetap ingin kebaikan, karena memang itu fitrah, terlebih bukan yang memang sengaja tapi karena terpaksa. Contoh, mungkin lebih tepatnya kasus, dulu saya punya seorang kawan yang berkawan dengan sekelompok peminum. Hampir setiap hari kamarnya bau alcohol, dan saya sudah hafal kalau rombongan temannya mulai berdatangan. Sepanjang kami berinteraksi (mungkin 2 tahunan), menurut saya beliau orang baik, hanya salah pilih teman. Suatu hari, di kosan hanya tinggal berdua, yang lain ada yang pulang, ada yang nugas, sudah...